Semarang, PT kontak perkasa - Pasar saham dan valuta asing bergerak berlawanan arah pada perdagangan Selasa (8/2/2022) sementara pasar surat utang masih mencari arah di tengah jejalan kabar buruk dari dalam negeri. Hari ini, ada peluang reli mengikuti angin segar dari Wall Street.
Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) kemarin ditutup melemah 0,23% atau 15,415 poin di level 6.789,52. Transaksi ramai yang tercermin dari nilai total perdagangan yang mencapai Rp 14,78 triliun.
Lagi-lagi, bursa saham domestik kebanjiran inflow dana asing. Data perdagangan mencatat investor asing mencetak pembelian bersih (net buy) jumbo hingga Rp 1,29 triliun di pasar reguler, setelah pada Senin membukukan pembelian bersih sebesar Rp 2 triliun.
Indeks acuan utama bursa tersebut bahkan sempat menyentuh level tertinggi di tengah perdagangan (all time high intraday) di 6.860,75 sebelum akhirnya balik arah dan bahkan menyentuh level terendahnya pada 6.780,42.
Tekanan datang bertubi-tubi dari dalam negeri. Setelah pasar mendapat kabar tak sedap berupa pengenaan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) level III, Bank Indonesia (BI) kemarin melaporkan penurunan cadangan devisa (cadev) Januari 2022 sebesar US$ 3,6 miliar menjadi US$ 141,3 miliar.
Meski level cadev tersebut masih tinggi, tetapi penurunan tajam di awal tahun 2022 mengindikasikan amunisi Bank Indonesia (BI) untuk menghadapi kenaikan suku bunga bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) juga berkurang.
Seperti diketahui, bank The Fed akan menaikkan suku bunga di bulan Maret, dan bisa memicu gejolak rupiah. Hal ini menjadi sentimen buruk bagi investor karena stabilitas rupiah sangatlah penting untuk menjaga kenyamanan investor asing berinvestasi di dalam negeri.
Sementara itu, pasar obligasi negara cenderung variatif dengan kenaikan imbal hasil (yield) di empat Surat Berharga Negara (SBN) utama dan koreksi di empat lainnya. Melansir data Refintiv, SBN tenor 1 dan 3 tahun, serta 25 dan 30 tahun yield-nya menurun.
Namun, SBN tenor 5 hingga 25 tahun justru mengalami kenaikan yield. SBN tenor 10 tahun yang menjadi acuan pasar mencetak kenaikan imbal hasil sebesar 0,6 basis poin (bp) menjadi 6,496%. Artinya, aksi jual di surat utang seri ini lebih mendominasi.
Hal ini terjadi di tengah kenaikan yield SBN di Amerika Serikat (AS) tenor 10 tahun yang melompat menjadi 1,97%, menjadi level tertinggi sejak November 2019. Padahal, pada akhir 2021, imbal hasil obligasi yang menjadi acuan pasar tersebut hanya di angka 1,51%.
Tingginya yield US Treasury secara teoritis memicu keluarnya dana asing (capital outflow) yang diparkir di pasar Indonesia, sehingga harga sebagian SBN tertekan. Berdasarkan data Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR), sepanjang Januari terjadi capital outflow di pasar obligasi sebesar US$ 4 triliun.
Yield berlawanan arah dari harga, sehingga naiknya yield menunjukkan harga obligasi yang sedang melemah, demikian juga sebaliknya. Satuan penghitungan basis poin setara dengan 1/100 dari 1%.
Di pasar valuta asing, rupiah sukses menguat melawan dolar Amerika Serikat (AS). Melansir data dari Refinitiv, rupiah membuka perdagangan dengan menguat 0,1% ke Rp 14.380/US$. Sepanjang perdagangan rupiah tidak pernah masuk ke zona merah hingga berakhir di Rp 14.390/US$, atau menguat tipis 0,03% di penutupan pasar spot.
Meski penguatannya tipis, rupiah menjadi yang terbaik kedua di Asia kemarin. Hingga pukul 15:00 WIB, rupiah hanya kalah dari baht Thailand yang menguat 0,12%.
Sumber : https://www.cnbcindonesia.com/market/20220209060656-17-313899/angin-segar-ditiup-wall-street-tapi-2-risiko-membayangi