Semarang, PT KP Press - Lonjakan harga komoditas internasional diperkirakan hanya berlangsung sementara. Maka artinya pemerintah tidak bisa hanya mengandalkan keuntungan alias cuan dari komoditas untuk menambal lobang penerimaan negara.
"Di tengah potensi pengetatan moneter global apakah harga komoditas bisa tetap tinggi sampai 2023, saat defisit fiskal sudah harus kembali ke 3% dari PDB?," ungkap Economist & Fixed-income Research Bahana Sekuritas, Putera Satria Sambijantoro kepada CNBC Indonesia, ,Rabu (27/10/2021).
Diketahui, pengetatan moneter global sudah mulai terasa. Beberapa negara maju seperti Amerika Serikat (AS) mulai mengurangi pelonggaran likuiditas seiring dengan ekonomi yang kembali pulih pasca krisis akibat pandemi covid-19.
Satria beranggapan perubahan arah kebijakan moneter secara global akan membuat harga komoditas kembali turun. Baik itu minyak bumi dan gas, batu bara, minyak kelapa sawit, tembaga, nikel dan lainnya.
Indonesia kini mendapatkan berkah atas lonjakan harga komoditas. Sebab sekitar 50% penerimaan negara bukan pajak (PNBP) bersumber dari komoditas. Untuk pos penerimaan Bea Keluar bahkan mencapai 80%.
Pemerintah diharapkan mencapai alternatif penerimaan agar tidak terdesak dan berujung ke penarikan utang yang lebih besar. Hal ini tentunya tidak bagus bagi keberlansungan APBN, sebab situasi terdesak membuat yield SBN melonjak.
"Dalam penilaian lembaga rating, justru ketergantungan fiskal terhadap komoditas (volatilitas penerimaan negara) dilihat sebagai suatu kelemahan fundamental, bukan kekuatan sebuah ekonomi," jelasnya.
Dalam realisasi APBN, total penerimaan negara adalah Rp 1.354,8 triliun atau tumbuh 16,8%. Penerimaan alami peningkatan dengan realisasi pajak tumbuh 13,2% menjadi Rp 850,1 triliun (69,1%), bea cukai tumbuh 29% menjadi Rp 182,9 triliun (85,1%) dan PNBP tumbuh 22,5% menjadi Rp 320,8 triliun (107,6%).
Besarnya penerimaan negara tidak terlepas lonjakan harga komoditas. Ini mempengaruhi penerimaan pajak, bea keluar hingga PNBP. Pajak misalnya, pada Januari-September 2021 melonjak 38,4% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya (year-on-year/yoy). Jauh membaik ketimbang sembilan pertama 2020 yang ambles 42,7% yoy.
Sementara pada kuartal III-2021, penerimaan pajak dari sektor pertambangan melesat 317,6% yoy. Jauh membaik dibandingkan kuartal sebelumnya yang terkontraksi (tumbuh negatif) 18% yoy.
Bea keluar (BK) di mana realisasinya mencapai Rp 22,56 triliun atau tumbuh 910,6% yang merupakan terbaik sepanjang sejarah Indonesia. Besar ini dipengaruhi oleh komoditas ekspor minyak kelapa sawit, batu bara dan lainnya.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati berpandangan kondisi kenaikan harga komoditas bisa terjadi sampai awal 2022. Sementara selanjutnya, banyak faktor yang turut mempengaruhi pergerakan harga komoditas.
"Boom harga komoditas mulai terlihat pada kuartal III. Sepertinya akan bertahan sampai awal tahun depan," pungkasnya.
Sumber : https://www.cnbcindonesia.com/news/20211027100628-4-286827/ri-cuan-ketiban-durian-runtuh-tahun-depan-ada-lagi-gak-ya