Semarang, PT Kontak Perkasa - Nilai tukar rupiah jungkir balik, melemah kemudian menguat tajam dalam waktu singkat pada pembukaan perdagangan Kamis (8/7/2021) setelah melemah tipis 0,1% Rabu kemarin.
Rilis notula rapat kebijakan moneter bank sentral AS (The Fed) menjadi pemicu utama pergerakan rupiah pagi ini. Sementara siang nanti, bagaimana dampak lonjakan kasus Covid-19 ke sektor konsumen bisa jadi akan mempengaruhi langkah rupiah.
Melansir data Refinitiv, rupiah membuka perdagangan di level Rp 14.490/US$, melemah 0,07% di pasar spot, melansir data Refintiiv. Rupiah kemudian melemah 0,41% ke Rp 14.540/US$, sebelum berbalik menguat ke Rp 14.420/US$, atau menguat 0,41% juga dibandingkan penutupan perdagangan Rabu.
Kemarin, rupiah melemah tipis setelah sempat bolak balik antara penguatan dan pelemahan. Pergerakan tersebut menunjukkan pelaku pasar menanti rilis notula The Fed dini hari tadi.
Isi dari notula tersebut menunjukkan mayoritas komite pembuat kebijakan moneter (FOMC) sepakat perekonomian harus menunjukkan "kemajuan substansial lebih jauh" sebelum The Fed mulai mengetatkan kebijakan moneter. Meski ada beberapa anggota FOMC yang melihat pemulihan ekonomi jauh lebih cepat dari perkiraan, dan inflasi yang sangat tinggi, sehingga The Fed perlu "mengendurkan pedal gas".
Tapering atau pengurangan nilai pembelian aset (quantitative easing/QE) yang selama ini menjadi ketakutan pelaku pasar memang sudah dibahas, tetapi The Fed menyatakan tidak akan terburu-buru untuk melakukannya.
Meski demikian, pelaku pasar masih melihat kemungkinan tapering akan dilakukan di tahun ini. Masih adanya perbedaan pendapat di pasar terkait kapan The Fed akan melakukan tapering membuat rupiah jungkir balik.
"Rilis notula mengkonfirmasi jika The Fed kemungkinan besar akan melakukan tapering di tahun ini," kata Kathy Lien, managing director di BK Asset Management.
Tetapi reaksi yang ditunjukkan pasar berbeda, yield obligasi (Treasury) AS justru merosot. Ketika The Fed mengindikasikan pengetatan moneter dengan tapering hingga kenaikan suku bunga, yield Treasury biasanya akan bergerak naik. Tetapi, Yield Treasury tenor 10 tahun kini berada di 1,322%, level terendah sejak pertengahan Februari, serta sudah mengalami penurunan dalam 7 hari beruntun.
Bahkan tren penurunan sudah dimulai sejak yield Treasury mencapai level tertinggi pra pandemi 1,776% pada 30 Maret lalu. Saat The Fed mengumumkan kebijakan moneter pertengahan Juni lalu, yield sempat mengalami kenaikan lagi, tetapi hanya berlangsung sesaat dan kembali longsor.
Turunnya yield Treasury bisa menunjukkan pelaku pasar kurang pede terhadap outlook perekonomian AS. Tetapi di sisi lain, akan memberikan keuntungan bagi obligasi Indonesia (Surat Berharga Negara/SBN), sebab selisih yield-nya menjadi melebar. Pelaku pasar yang lebih berani mengambil risiko dengan imbal hasil yang tinggi tentunya akan mengalirkan modalnya ke pasar obligasi Indonesia.
Hal tersebut tentunya tidak hanya membuat harga SBN naik, tetapi juga menguntungkan bagi rupiah, meski masih harus menghadapi kuatnya dolar AS.
Indeks dolar AS kembali menguat 0,17% ke 92,705 pada perdagangan Rabu, dan berada di level tertinggi sejak 5 April.
Pergerakan yield Treasury dengan dolar AS biasanya beriringan, tetapi belakangan ini malah berlawan arah.