Semarang, PT Kontak Perkasa Futures - Harga batu bara terus melonjak tinggi dalam beberapa bulan terakhir. Harga komoditas ini di pasar ICE Newcastle (Australia) sempat menyentuh rekor tertinggi setidaknya sejak 2008 pada 5 Oktober 2021 lalu dengan level US$ 280 per ton.
Meski kemudian, ada tren penurunan. Pada perdagangan kemarin, Rabu (13/10/2021) tercatat sempat menyentuh US$ 255/ton, turun 1,92% dari hari sebelumnya. Tapi bukan tidak mungkin, penguatan bisa kembali terjadi.
Ketika harga batu bara terus naik, ada dampak lain yang harus dibayar, yakni kenaikan biaya produksi dari berbagai sektor yang menggunakan energi ini, salah satunya adalah tekstil. Hal itu juga bakal merembet pada kenaikan harga baju atau celana yang juga semakin mahal.
"Harusnya demikian (ada kenaikan harga)," kata Wakil Ketua Umum Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Anne Patricia Sutanto kepada CNBC Indonesia, dikutip Kamis (14/21/2021).
Tekstil memiliki ekosistem yang bercabang, salah satunya industri serat dan benang filamen. Industri ini menggunakan batu bara untuk pembangkit dan sebagian kecilnya untuk mesin uap. Namun, perusahaan yang menggunakan batu bara sebagai pembangkit listrik, maka biaya produksinya akan semakin besar.
Apalagi, jika ditambah dengan kenaikan harga bahan baku. Adapun bahan baku tekstil yang dominan salah satunya adalah kapas, di mana harganya saat ini sudah mencapai US$ 1,16/pon atau sekitar Rp 16.530/pon (asumsi kurs Rp 14.250/US$). Pada pekan lalu, harga kapas dunia telah melesat lebih dari 6%, sedangkan sepanjang tahun ini (year-to-date/YTD), harga kapas sudah meroket hingga 47%.
"Kalau memang ada kenaikan bahan baku. Kalau kapas naik, kan harga tekstil juga naik," ujarnya.
Kenaikan harga tekstil akan berlanjut bergantung pada harga batu bara dan bahan baku. Jika kenaikan harga batu bara terus berlanjut, maka harga tekstil pun akan terbang.
"Dan bukan hanya tekstil harusnya," lanjutnya.
Tidak hanya baju, salah satu yang bakal terkena dampak adalah kertas. Industri ini menggunakan batu bara sebagai salah satu opsi dalam sumber energi.
"Kita belum ada kajian ini (tapi) sementara memang ada pengaruhnya (kenaikan biaya produksi)," kata Ketua Asosiasi Pulp dan Kertas Indonesia (APKI) Aryan Warga Dalam kepada CNBC Indonesia, dikutip Kamis (14/10/2021).
Ia menerangkan, batu bara hanya salah satu dari sekian banyak pilihan sumber energi. Karenanya, bagi industri yang tidak menggunakan batu bara, maka dampaknya tidak terlalu signifikan. Sebaliknya, bagi industri yang dominan menggunakan komoditas ini dampaknya akan besar.
"Kalau kita bervariasi, industri kertas macam-macam, ada yang pakai kulit kayu, ada yang pake gas, batu bara, listrik," ujar Aryan.
Dalam laporan Kebutuhan Energi pada Industri Pulp dan Kertas Indonesia dari Pusat Data dan Informasi Kementerian Perindustrian (Pusdatin Kemenperin) tahun 2019, penggunaan energi fosil didominasi oleh batu bara, yakni sebesar 76,5% atau sekitar 6.577.804 ton per tahun (untuk batu bara low rank). Sementara gas alam sekitar 20% atau sebesar 32.619.994 mmbtu.
Kemudian, kebutuhan biomass dari luar proses sekitar 17,5% yang datang dari bark (kulit kayu), tandan kosong, cangkang sawit, fiber sawit, dan sebagainya.
Namun, masing-masing perusahaan memiliki kebijakan sendiri dalam penerapan kebijakan energi. Misalnya, PT Riau Andalan Pulp dan Kertas (RAPP/April Group) menggunakan 54% energinya dari batu bara. Sementara itu, PT Fajar Surya Wisesa yang memproduksi kertas dari bahan baku kertas bekas menggunakan 40,84% batu bara, 36,01% gas alam dan sisanya plastik dan PLN.
"Kalau struktur biaya (produksi) 5% ya kira-kira dampaknya bisa keliatan, tapi nggak semua pake batu bara karena campuran biasanya," jelasnya.
Selain kenaikan biaya produksi, salah satu penyebab kenaikan harga terletak pada bahan baku.
"Yang dominan bahan bakunya, kalau bahan baku kaitannya dengan harga," ujarnya.
Sumber : https://www.cnbcindonesia.com/news/20211014092317-4-283786/efek-harga-batu-bara-meroket-baju-hingga-kertas-bisa-mahal