Semarang, PT KP Press - Pelaksanaan otonomi daerah (otda) telah memasuki usia yang terhitung matang. Harapan pelaksanaan desentralisasi berupa kemandirian dan pembangunan pada tiap daerah mulai terlihat. Munculnya pusat-pusat ekonomi baru maupun sosok pemimpin daerah yang berkinerja prima merupakan dampak positif dari pelaksanaan desentralisasi. Meskipun ada perkembangan yang menggembirakan pada pelaksanaan otda, masih terdengar pula mengenai kinerja sebagian pemerintah daerah (pemda) yang belum sesuai harapan. Jalan rusak, jembatan roboh maupun gedung-gedung sekolah yang kurang terawat masih acap kali menghiasi pemberitaan media di tanah air. Ditambah lagi mengenai permasalahan berulang yang terjadi di sebagian pemda terutama mengenai pengendapan dana serta alokasi belanja birokrasi yang cukup besar porsinya.
Perubahan kebijakan mengenai dana transfer perlu diambil untuk meningkatkan kinerja pemda sekaligus menyelesaikan permasalahan yang selalu berulang pada pengelolaan keuangan di pemda. Pola penyaluran dana transfer yang selama ini dilakukan perlu disempurnakan agar mampu memicu kinerja pemda menjadi lebih baik. Perubahan kebijakan yang dilakukan dapat dengan mengadopsi pengalaman pada konsep pemberian kompensasi/penggajian yang berlaku secara luas. Pada konsep pemberian kompensasi, seseorang akan berkinerja apabila terdapat kontrak kinerja (key performance indicator), gaji (pay for position), serta insentif yang diberikan atas pencapaian kinerja (pay for performance).
Hubungan antara pemerintah pusat dan pemda dapat dianalogikan sebagai hubungan pemberi kerja dan penerima kerja. Di mana sebagai pemberi kerja pemerintah pusat memberikan sumber daya kepada pemda untuk mencapai target-target yang telah ditetapkan. Target kinerja bagi pemda dapat berupa turunan dari program-program nasional yang tercantum dalam RPJP/RPJMN/RKP, maupun program dari lembaga internasional seperti SDG's. Target-target yang harus dicapai oleh pemda mirip dengan kontrak kinerja yang berlaku pada konsep pemberian kompensasi. Di mana ketercapaian target yang ditentukan merupakan faktor yang menjadi penentu besaran insentif yang akan diterima.
Dana transfer merupakan sumber daya yang diberikan kepada pemda untuk pencapaian target kinerja yang telah ditetapkan. Setiap tahunnya pemerintah pusat telah mengalokasikan anggaran yang cukup besar untuk mendukung pelaksanaan desentralisasi. Pada tahun 2021, transfer ke daerah dan dana desa dialokasikan sebesar Rp 795,48 triliun dengan perincian Rp 723,48 triliun berupa transfer ke daerah dan Rp 72 triliun berupa dana desa.
Apabila kita cermati, dana transfer yang diberikan kepada daerah oleh pemerintah pusat secara sederhana dapat dikelompokkan menjadi dua kelompok.
Kelompok pertama merupakan dana yang diberikan sedangkan kelompok kedua merupakan dana yang diperebutkan. Kelompok pertama disebut juga dengan dana perimbangan, merupakan porsi terbesar dari transfer ke daerah. Alokasi dana perimbangan pada tahun 2021 sejumlah Rp 688,68 triliun yang terdiri atas DAU, DBH, dan DAK baik fisik maupun fisik. Dana perimbangan diberikan ke masing-masing daerah sejak pertama kali otda diberlakukan. Dalam konsep pemberian kompensasi, dana perimbangan mirip dengan istilah "gaji". Kemiripan tersebut terlihat dari karakteristik dana perimbangan yang besarnya sesuai proporsi tertentu/dihitung dengan rumus tertentu dan besarannya tetap. Setiap daerah berhak atas dana perimbangan tanpa harus bersaing untuk mendapatkannya.
Kelompok kedua lahir beberapa tahun kemudian yang dikenal dengan nama Dana Insentif Daerah (DID). Alokasi DID pada tahun 2021 adalah Rp 13,5 triliun yang diperebutkan oleh seluruh daerah otonom yang ada. DID mirip dengan istilah "insentif" pada konsep pemberian kompensasi. Tidak setiap daerah berhak atas DID. Hanya daerah yang berhasil mencapai target kinerja yang mendapatkan bagian dari DID. Semakin tinggi tingkat pencapaian kinerja pada suatu daerah maka DID yang diberikan pun akan semakin besar.
Dari gambaran di atas, tiga unsur yaitu kontrak/target kinerja, gaji, dan insentif sudah terpenuhi namun mengapa kinerja sebagian pemda masih belum maksimal? Kunci dari pertanyaan tersebut ada pada besaran "insentif" yang tidak menarik bagi sebagian pemda untuk berkinerja. DID hanya sebesar 1,87% dari total transfer ke daerah. Kecilnya insentif yang diberikan tentu akan menimbulkan pemikiran, bahwa mengendapkan dana dan berharap mendapatkan jasa perbankan akan lebih menguntungkan daripada berkinerja dan "hanya" mendapatkan insentif yang kurang lebih sama dengan hasil jasa perbankan. Idealnya, insentif yang diberikan atas capaian kinerja bisa ditingkatkan sampai pada tingkat ideal yaitu kisaran angka 20-40% dari total transfer ke daerah.
Pengesahan RUU Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah (HKPD) menjadi UU merupakan momentum yang tepat untuk menyempurnakan kebijakan transfer ke daerah. Perubahan porsi alokasi antara yang bersifat tetap (dana perimbangan) dan kinerja (DID) merupakan hal yang patut dipertimbangkan. Perubahan proporsi tersebut diyakini akan memacu pemda untuk berkinerja lebih. Besarnya insentif yang diperebutkan akan memaksa pemda melakukan berbagai terobosan agar target-target yang ditetapkan oleh pemerintah pusat dapat dicapai dengan gemilang. Berbagai keuntungan atas perubahan tersebut akan dinikmati oleh seluruh pihak yang terlibat. Dampak perubahan tersebut memberikan manfaat bagi pemerintah pusat, pemda, masyarakat, serta Indonesia sebagai sebuah negara.
Bagi pemerintah pusat, perubahan tersebut minimal menyelesaikan kasus yang terjadi berulang setiap tahun, yaitu pengendapan dana milik pemda. Pemda menjadi terpacu membelanjakan dana yang dimilikinya dengan kompensasi akan mendapatkan insentif apabila target-target yang ditetapkan telah tercapai. Demi pencapaian kinerja, pengendapan dana menjadi tidak menarik lagi dibandingkan dengan membelanjakannya. Perubahan tersebut juga akan menempatkan pemerintah pusat pada posisi makro, fokus pada pencapaian target kinerja yang dilakukan oleh pemda bukan lagi pada hal mikro seperti besaran alokasi anggaran untuk masing-masing bidang.
Sedangkan bagi pemda, pemberian insentif yang menggiurkan akan meningkatkan daya saing masing-masing daerah. Pemda yang mampu mencapai target yang ditetapkan akan memperoleh insentif yang lebih besar. Pembangunan pada daerah akan menjadi lebih pesat dibandingkan daerah lain yang tidak mampu mencapai target. Kompetisi memperebutkan insentif pada pemda akan menimbulkan kecemburuan, bukan kecemburuan yang bernuansa negatif namun kecemburuan positif. Semua akan berlomba memberikan kinerja yang terbaik, kinerja kurang atau buruk akan membuat sebuah daerah menjadi tertinggal dibandingkan tetangganya.
Masyarakat merupakan pihak yang menikmati manfaat dari perubahan proporsi dana transfer tersebut. Sebagai pengguna layanan pemerintah, perbaikan kinerja berarti perbaikan dalam segala bidang layanan yang diberikan oleh pemerintah. Dalam bidang infrastruktur jalan misalnya, masing-masing pemda akan berupaya agar jalan yang menjadi tanggung jawabnya berada pada kondisi prima. Apabila target kinerja pemda dinilai dari kondisi jalan yang dimilikinya, maka rusaknya jalan merupakan faktor pengurang pemberian insentif pada skema pemberian dana transfer.
Pada lingkup negara, perubahan proporsi tersebut akan menyelaraskan program antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Target kinerja pemda yang merupakan turunan dari RKP/RPJM merupakan kunci keselarasan antara pusat dan daerah. Sebagai turunan dari RKP/RPJM sudah barang tentu apa yang dikerjakan oleh pemda tidak akan melenceng dengan program-program yang dilaksanakan oleh pemerintah. Kemungkinan program strategis pemerintah pusat yang tidak terlaksana di tingkat pemda dapat diminimalisasi kemungkinan terjadinya.